Jumat, 16 Januari 2009

KASUS MUNIR

Arsip untuk Kategori 'Kasus Munir'

FBI dan Kasus Munir

POLISI akhirnya membuat keputusan penting untuk menuntaskan kasus kematian aktivis hak asasi manusia (HAM) Munir. Kapolri Jenderal Sutanto, Rabu (22/11), menegaskan polisi akan melibatkan para penyelidik Federal Bureau of Investigation (FBI), Amerika Serikat (AS), untuk membantu mengusut kasus tersebut.

Inilah perkembangan terbaru setelah sekian lama pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meletakkan status legal kasus ini pada posisi yang sangat tidak jelas. Tidak jelas karena sejak Munir tewas dalam penerbangan dari Singapura menuju Amsterdam, Belanda, 17 September 2004, kasus ini tetap diselimuti misteri. Pengusutan, penyelidikan, penyidikan, bahkan pengadilan telah digelar. Namun, siapa yang paling bertanggung jawab atas kasus ini masih menjadi teka-teki.

Bahkan, kasus pembunuhan Munir ini pun terancam masuk daftar dark number. Padahal, seorang aktivis HAM telah tewas diracun. Namun, posisi hukum terakhir kasus ini menunjukkan pembunuhnya ‘tidak ada’. Itu sungguh ironis. Saat mata dunia menyorot kemajuan kasus ini, pemerintah seperti tidak sungguh-sungguh menuntaskan dengan sebaik-baiknya dan secermat-cermatnya.

Karena itu, langkah polisi melibatkan FBI harus dihargai. Sebab itu merupakan bukti kuat bahwa pemerintah memang bertekad menemukan pembunuh Munir.

Tentu ada kontroversi, seperti penilaian bahwa pelibatan FBI dalam kasus ini akan memiliki dampak psikologis yang dapat melemahkan citra polisi. Polisi dapat dinilai tidak becus menangani kasus penting yang sejatinya tidak terlalu sulit untuk dituntaskan. Pelibatan FBI juga dapat dinilai sebagai undangan kepada pihak asing yang dapat menciptakan kerawanan. Yaitu rawan intervensi atau campur tangan asing, dalam hal ini Amerika.

Semua penilaian dan argumentasi itu sah-sah saja dilontarkan. Namun, polisi tidak boleh ragu dalam menjalankan tugas berat ini. Bekerja sama dengan FBI tidak berarti bahwa polisi Republik Indonesia dapat dipengaruhi FBI. Tidak mudah, tapi harus mampu dibuktikan bahwa polisi adalah institusi yang profesional dan memiliki martabat serta kedaulatan.

Membongkar selubung misteri kasus Munir dan menemukan siapa pembunuhnya–dengan atau tanpa bantuan FBI–jelas merupakan tugas polisi. Akan tetapi, dengan bantuan FBI, teka-teki soal siapa pembunuh Munir yang sesungguhnya mestinya dapat terjawab dengan cepat dan tuntas.

Aktivis HAM Munir sekali lagi telah tewas diracun. Bila kasus ini tidak tuntas, citra kita di mata internasional akan jatuh. Sebab Munir adalah pejuang HAM yang mendapat penghargaan internasional. Apalagi saat ini Indonesia adalah anggota Dewan HAM PBB. Indonesia juga dapat dianggap sebagai negara lemah dan tidak mampu menegakkan hukum.

Terlepas dari itu semua, yang paling mengkhawatirkan dari tidak tuntasnya kasus ini adalah terciptanya preseden. Bahwa setiap saat, setiap orang, dapat tewas terbunuh dan pembunuhnya tetap bebas berkeliaran. Bila itu terjadi, jahiliah akan menguasai negeri ini. Dan bagi Indonesia, itu adalah pusara atas matinya kebenaran dan keadilan.

Media Indonesia, Sabtu, 25 November 2006

Membawa Kasus Munir ke PBB

- Upaya Suciwati memperjuangkan keadilan dan kebenaran atas kematian suaminya, Munir, patut dipuji. Betapa ia sangat gigih dan tak kenal menyerah sampai akhirnya sekarang berencana membawa kasus itu ke Sub-Komisi HAM Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Pujian juga datang dari berbagai pihak, termasuk Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia B Lynn Pascoe, ketika menerima Suciwati bersama Ketua Kontras Usman Hamid dan Koordinator Human Rights Watch Group Rafendi Djamin. Apalagi sekarang angin baru didapatkan setelah Mahkamah Agung menyatakan Pollycarpus bukan pembunuh Munir. Berarti kasus itu kembali gelap.

- Semua langkah Suciwati merupakan hak pribadinya, namun tidak sedikit yang meminta agar dirinya tak sampai membawa kasus kematian Munir itu ke PBB. Di antaranya, yang mengharap semua itu ditangani di dalam negeri adalah Ketua MPR Hidayat Nur Wahid. Alasannya, sudah ada keseriusan dari pihak kita, termasuk Kapolri Jenderal Pol Sutanto, untuk membongkar kasus tersebut. Kalau sampai dibawa ke dunia internasional, masalahnya bisa lebih rumit dan di dalam negeri malah tidak akan bisa terselesaikan dengan baik. Rasanya imbauan Ketua MPR itu layak dipikirkan dan semua langkah yang ditempuh perlu dipertimbangkan secermat mungkin.

- Ini bukan semata-mata persoalan hak karena kita pun punya kepentingan sebagai bangsa. Walaupun nilai-nilai hak asasi manusia universal dan telah mengglobal, bukan berarti semuanya harus dibawa ke sana, kecuali sudah benar-benar mentok dan tak mendapat perhatian selayaknya di dalam negeri. Menurut Hidayat Nur Wahid, Kapolri yang sekarang berbeda dari sebelumnya dan presiden pun telah menunjukkan komitmen luar biasa. Namun rupanya hal itu belum cukup meyakinkan Suciwati dan beberapa aktivis HAM di negeri ini. Terlebih Presiden SBY tak segera memimpin langsung Tim Pencari Fakta (TPF) Kasus Munir.

- Mungkin apa yang dipikirkan Suciwati dan kawan-kawan juga menjadi pemikiran banyak orang. Artinya, kalau ditanya apakah kita cukup optimistis kasus itu dapat terungkap dan ditemukan pembunuhnya, mungkin sebagian besar mengatakan tidak. Belajar dari pengalaman selama ini, tampaknya kasus itu akan menjadi misteri sampai akhir zaman. Kasus pembunuhan wartawan Bernas Udin di Yogya misalnya, tetap tak tersentuh sampai sekarang kendati perjuangan untuk itu juga tak pernah padam. Orang menduga-duga ada kepentingan institusi yang terkait dengan kekuasaan di balik kasus-kasus itu. Jadi, memang akhirnya keseriusan pun diragukan.

- Mungkinkah kita memberikan kesempatan sekali lagi kepada Kapolri dan semua pihak terkait di dalam negeri untuk mengungkap secara tuntas dengan menangkap pelakunya? Bukankah komitmen seorang kepala negara juga dipertaruhkan dalam hal ini? SBY tentu tak bisa hanya bermain kata-kata atau sekadar lips service ketika berjanji untuk membantu penegakan hukum khususnya terkait dengan kematian Munir. Apa pun alasannya, semua itu memang menjadi hak secara individu. Namun alangkah baiknya jika segala sesuatu dibicarakan lagi bersama di antara kita. Akan lebih baik dan sudah semestinya kalau kita sendiri mampu tanpa meminta bantuan pihak luar.

- Memang ada argumen lain yang mendukung, sebab kasus itu ada kaitannya dengan negara lain. Antara lain karena tempat kejadian perkara (locus delicti) di Belanda maka mereka pun menunjuk beberapa ahli hukum Belanda untuk menjadi kuasa hukum. Tim itu bertugas membantu penyelidikan dan menuntut tanggung jawab Pemerintah Belanda terhadap kematian Munir di pesawat saat mendarat di Amsterdam. Selain itu, yang duduk bersebelahan dengan Munir ketika itu adalah seorang warga negara Belanda. Sebenarnya semua upaya mencari keadilan haruslah didukung, namun perlu diupayakan maksimal agar kasus tersebut cukup ditangani di dalam negeri.

Suara Merdeka, Jumat, 13 Oktober 2006

Pasca Vonis Bebas, Istri Munir Meradang

Bukan baru pertama ini saja Mahkamah Agung membebaskan terdakwa dari tuduhan, meskipun pengadilan negeri dan pengadilan tinggi sudah memutuskan si terdakwa bersalah.

Sebelum vonis bebas Pollycarpus dalam dakwaan pembunuhan aktivis HAM Munir, tokoh politik Akbar Tanjung dan banyak lainnya juga divonis tidak bersalah di tingkat kasasi MA, sehingga kontroversial putusan para hakim di negeri ini sepertinya tidak pernah habis-habisnya.

Padahal, yang diperiksa itu ke itu juga, mulai dari hasil pemeriksaan berkasnya, barang bukti, saksi-saksinya, dan dasar hukumnya juga sama, sehingga aneh kalau persepsi hakim bisa bertolak belakang.

Pollycarpus hanya terbukti memalsukan surat tugas saja. Ketua majelis hakim kasasi, Iskandar Kamil mengatakan MA menyatakan dakwaan pertama tentang pembunuhan berencana tidak terbukti karena tidak ditemukan bukti berupa saksi yang melihat, mendengar, atau mengalami sendiri bahwa Pollycarpus melakukan pembunuhan terhadap Munir.

Jadi, MA hanya menjatuhkan hukuman dua tahun penjara karena terbuktinya dakwaan kedua tentang penggunaan surat palsu. Untuk dakwaan menggunakan pidana palsu, bukti-buktinya cukup jelas karena surat yang digunakan oleh Pollycarpus untuk terbang ke Singapura dikeluarkan oleh pejabat PT Garuda Indonesia yang tidak memiliki kewenangan.

Putusan kasasi terhadap terdakwa Pollycarpus itu diambil dalam rapat musyawarah majelis hakim yang terdiri atas hakim ketua Iskandar Kamil dan hakim anggota Atja Sondjaya serta Artidjo Alkostar.

Pada 12 Desember 2005, PN Jakarta Pusat menjatuhi hukuman 14 tahun penjara kepada Pollycarpus. Ia dinyatakan terbukti melakukan pembunuhan berencana terhadap Munir dengan cara memasukkan racun arsenik ke dalam mie goreng yang disantap Munir saat penerbangan menuju Singapura.

Di tingkat banding, vonis Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperkuat vonis PN Jakarta Pusat dengan menjatuhkan hukuman 14 tahun penjara. Pada vonis tingkat banding itu, juga telah mencuat pendapat berbeda dari hakim tinggi bahwa Pollycarpus tidak terbukti membunuh dan hanya terbukti menggunakan surat palsu.

Padahal, dalam pemeriksaan sejumlah saksi disebut-sebut banyak pihak yang terkait dari hasil pembicaraan telefon, termasuk dengan pihak BIN. Justru itu, kasus Munir ini kembali mentah dan untuk mencari tahu siapa dalang dan pelaku pembunuhan sebenarnya diperlukan kerja keras dari polisi.

Hemat kita kerja keras polisi akan sangat menentukan. Kalau polisi ngotot mengerahkan semua kemampuannya kita optimis tersangka baru dapat ditangkap. Tentunya Pollycarpus diharapkan koperatif dengan pihak penyidik, membantu untuk mengungkap trabir misteri pembunuhan aktivisi Munir yang dikenal vokal terhadap pemerintah di masa lalu.

Pokoknya siapa saja perlu mendukung tugas-tugas penyidik untuk membongkar jaringan pelaku pembunuh Munir di atas pesawat Garuda dalam penerbangan Singapura – Amsterdam.

Kalau Ketua DPR Agung Laksono mengatakan, perlu keterbukaan dari semua instansi untuk menguak kebenaran dalam kasus terbunuhnya aktivis hak asasi manusia Munir hal itulah yang diharapkan semua pihak agar kasus sebenarnya terungkap.

Tanpa dukungan dan keterbukaan dari pihak-pihak terkait kasus ini akan sulit dibuka, meskipun istri Munir (Suciwati) terus ’’meradang’’ dan berupaya mencari tahu siapa pembunuh suaminya dengan mengadu ke Kongres dan Senat Amerika, dan menyiapkan langkah hukum di Negeri Belanda.

Kita bisa memaklumi betapa kecewanya Suciwati setelah Pollycarpus dibebaskan, berarti tidak ada hasil kerja polisi, jaksa dan pecinta HAM termasuk dirinya selama ini, sia sia belaka. Adalah wajar kalau polisi kecewa, jaksa pun pasti kecewa berat dan harusnya mengajukan upaya hukum banding dan mencari bukti-bukti baru yang bisa menguatkan tuduhannya. Mudah-mudahan ke depan akan terungkap siapa pembunuh Munir sebenarnya.

Berita Sore, 10 Oktober 2006

Kasus Munir

KASUS pembunuhan aktivis Hak Asasi Manusia (HAM), Munir SH, kembali disaput awan gelap. Satu-satunya terdakwa pembunuhan berencana terhadap pendiri Kontras itu, Pollycarpus Budihari Priyanto, dalam putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) dinyatakan tidak terbukti terlibat pembunuhan. Polly —panggilan Pollycarpus- hanya divonis dua tahun karena kasus pemalsuan surat tugas.

Keputusan MA itu otomatis membatalkan vonis 14 tahun penjara bagi Polly seperti ketetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Keputusan MA itu pun mengundang kontroversi baru, apalagi dari tiga hakim MA, seorang hakim menyatakan dissenting opinion dan tetap menilai Polly terlibat pembunuhan Munir.

Kita menghargai keputusan hukum yang dikeluarkan oleh MA. Sebab, dua hakim yang membebaskan Polly menyatakan tidak ada bukti atau saksi yang memperkuat dakwaan jaksa bahwa Polly terlibat pembunuhan Munir. Namun, satu hakim karir yang menyatakan dissenting opinion mengatakan, dalam kasus konspirasi seperti itu, bukti dan saksi bisa dikesampingkan. Yang penting, ada keterkaitan antara satu fakta dan fakta lain.

Misalnya, bagaimana Polly sempat menelepon rumah Munir untuk menanyakan jadwal kepergian Munir ke Belanda serta bagaimana Polly mendekati Munir di dalam pesawat dan menawarkan tempat duduk di kelas bisnis.

Keputusan MA sudah diketok dan Kejaksaan Agung menganggap keputusan tersebut final. Artinya, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kembali ke titik nol untuk mengungkap konspirasi di balik tewasnya Munir yang diduga diracun arsenik di atas pesawat Garuda Indonesia tujuan Jakarta-Amsterdam.

Kita tidak mengatakan sia-sia upaya yang selama ini dilakukan pemerintah untuk mengungkap kasus itu. Kita hanya menyayangkan bahwa kerja keras dengan pembentukan TPF (Tim Pencari Fakta) kasus Munir akhirnya hanya selesai dengan putusan bebas satu-satunya terdakwa. PR (pekerjaan rumah) terbesarnya, dimulai dari mana penyelidikan kembali kasus Munir itu?

Putusan kasasi MA memang bukan akhir segalanya, meskipun membuat benang kusut kasus tersebut makin sulit diurai. Saat ini protes dari para aktivis HAM makin keras setelah keluarnya putusan kasasi itu. Mereka tetap menuntut pemerintah SBY bisa menuntaskan kasus pembunuhan Munir, bagaimana pun caranya.

Tidak mudah memang membongkar sebuah konspirasi tingkat tinggi. Namun, faktanya adalah bangsa ini telah kehilangan seorang pejuang demokrasi dan HAM yang tangguh. Kematian Munir memang tidak menghentikan perjuangan aktivis HAM untuk terus mengkritisi pelanggaran-pelanggaran hak azasi manusia yang sering dilakukan oleh negara. Tetapi, kita juga tidak ingin perjuangan terus dibayar mahal dengan hilangnya nyawa.

Kini kita hanya bisa menunggu dan berharap pemerintahan SBY bisa memberikan yang terbaik kepada bangsa Indonesia terkait upaya mengungkap kematian Munir. Dari mana memulainya terserah pemerintah. Yang jelas, kita menunggu bahwa kasus ini harus terungkap dengan sejelas-jelasnya dan menyeret para pelakunya untuk dihadapkan ke muka hukum.

Memang kasus ini sangat rumit dan perlu penangan yang sangat serius, namun kalau tidak diselesaikan dengan segera, maka akan berdampak buruk pada penegakan hukum di negeri ini. Bukanhkah, kasus ini sudah menggelobal menjadi konsumsi masyarakat dunia, buktinya ketika Presiden SBY ke Eropa, yang ditanya wartawan asing soal Munir, bagaimana kasus Munir?

Nah, melihat semakin luasnya pihak-pihak yang menginginkan kasus meninggalnya Munir ini diselesaikan dengan segera mungkin, maka sudah sewajarnya kalau pemerintah bersama pihak-pihak yang terkait segera menyelesaikan, apapun resikonya.***

Riau Pos, Sabtu, 07 Oktober 2006

Kasus Munir Setengah Mati atau Setengah Hati

MAHKAMAH Agung telah memutuskan bahwa dalam kasus pembunuhan terhadap aktivis HAM, Munir, terdakwa Pollycarpus Budihari Priyanto tidak terbukti sebagai pembunuhnya, dan dia hanya terbukti menggunakan surat palsu. Oleh karenanya, dia hanya dihukum dua tahun.

Putusan MA itu berbeda dengan putusan Majelis Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Tingi DKI Jakarta yang menghukumnya 14 tahun.

Meninggalnya Munir telah menjadi isu internasional, terakhir kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Eropa, pers, maupun negarawan asing mempertanyakan penanganan kasus Munir. Mereka ingin tahu siapa pembunuhnya? Presiden sendiri berjanji akan menuntaskan kasus tersebut. Mungkin Presiden kaget dengan perhatian internasional yang mempertanyakan kasus tersebut.

Namun, putusan MA itu juga membuat kita semakin terkejut, sehingga wajar bila kemudian muncul berbagai tanggapan terhadap putusan tersebut. Ada yang kecewa dan ada yang lega, tetapi yang menjadi persoalan adalah alasan pengambilan putusan itu.

KRONOLOGIS TRAGEDI ISRAEL

Sungguh tragedi Kemanusiaan yang semakin menyedihkan, satu tahun sudah israel telah menutup jalur gaza dari dunia luar. Semenjak itulah semakin hari penduduk Gaza semakin kesulitan untuk mengakses air, makanan, obat-obatan bahkan pekerjaan. Satu2nya celah yang memungkinkan untuk keluar masuk jalur gaza ini adalah melalui daerah yang berbatasan dengan Mesir, nyatanya pihak keamanan mesir bertindak keras juga bagi para warga yang mencoba menyeberang ke mesir, maka semakin lengkaplah penderitaan warga Gaza.

HAMAS yang merupakan elemen yang masih punya keberanian menentang penjajah israel yang menyerobot sebagian besar tanah palestina itu, tentu saja tidak tinggal diam, berbagai perundingan yang dilakukan nyatanya berkali-kali pula dikhianati oleh negara Yahudi tersebut. Maka jawaban yang paling keras akhirnya ya serangan roket ke wilayah Israel. Dari beberapa sumber yang kubaca, perjuangan HAMAS yang serba sederhana ini ternyata cukup membuat geram penjajah Israel. Perdana Menteri Israel Ehud Olmert meminta warga Gaza untuk menghentikan tembakan roket Hamas ke wilayah Israel. Sementara Menlu Israel Tzipi Livni menyatakan sudah “tidak tahan” melihat eskalasi tembakan roket Hamas (wawancara dengan televisi al-Arabiya). Livni menyatakan dalam perundingan gencatan terakhir di mesir, “Apa yang dilakukan Hamas sudah cukup. Hamas harus paham bahwa kami ini hidup damai, dan itu artinya Israel tidak akan membiarkan situasi ini berkepanjangan.” Suatu kata2 yang ironi, ingin hidup damai setelah merenggut tanah air orang lain?

Nyatanya perundingan di mesir juga ternyata adalah bagian dari skenario besar untuk melanggengkan kolonialisme palestina oleh israel yang digagas pula oleh Amerika. Seperti yang dikatakan oleh Dr. NAwaf Takruri (Ketua Rabithah Ulama) , “Sebenarnya target dari dialog ini ada dua. Pertama, memperpanjang masa jabatan presiden Mahmud Abbas. Dan kedua, memperpanjang masa gencatan senjata antara Hamas dan Israel yang sudah habis. Kenapa dua program ini menjadi agenda utama mereka, untuk mereka bisa leluasa melancarkan strategi perang terhadap kelompok mujahidin khususnya yang membebaskan Palestina (Hamas)“. Sebetulnya jika mau adil, tentunya perundingan harusnya dihadiri pula oleh HAMAS yang secara aturan demokrasi mana pun di dunia ini adalah pemenang pemilu terakhir di palestina. Namun karena berbagai konspirasi yang berasal dari kebencian dan niat buruk penjajah israel untuk melanggengkan penjajahannya, dibuatkan kekacauan politik yang memisahkan antara kelompok Fatah dan Hamas.

Kembali ke jalur Gaza, setelah hampir setahun di blokade ekonomi, sabtu 27 Desember yang lalu, Israel mulai menggempur jalur Gaza dengan serangan udara. Sungguh biadab dan pengecut, masyarakat yang sudah menderita berbulan2 masih juga diserang dengan bom-bom berkekuatan besar dari peralatan perang Israel. Bahkan pejabat PBB (Karen Abuzayd, kepala badan kemanusiaan PBB, UNRWA) menyatakan bahwa gara2 serangan ini, kondisi hidup warga Palestina di Gaza telah mencapai titik kehancuran (breaking point). Dia mengatakan, aksi militer Israel di Gaza dalam beberapa pekan terakhir menimbulkan penderitaan dan keputusasaan massal, bukan lagi serangan untuk mewujudkan keinginan mencapai kompromi politik. Pejabat ini menganjurkan agar misi peninjau PBB segera dikirim ke Gaza. Lalu ada juga pendapat salah satu pengamat hak asasi PBB yang menuduh Israel melakukan aksi “pembantian besar-besaran”. Richard Falk - pelapor khusus hak asasi manusia untuk wilayah Palestina - mengatakan masyarakat internasional harus menekan Israel untuk menghentikan serangan ke Gaza.

Sayangnya secara institusi, badan dunia ini seperti biasanya mandul dan baru akan bertindak kalau korban kemanusiaan sudah banyak bergelimpangan. PBB yang harusnya menjadi corong perdamaian nyatanya sering pula di veto oleh Amerika untuk setiap urusan yang berhubungan dengan israel ini. Kutukan, kemarahan, serta pernyataan keprihatinan negara2 di dunia cuma sampai di meja PBB dan cuma jadi tulisan di media massa saja, tanpa menjadi aktivitas pembelaan terhadap manusia2 yang dibantai oleh manusia2 laknat Israel.

Sampai hari keempat ini (30/12), peristiwa pembantaian masih terus terjadi. Korban sudah mencapai 360 orang tewas dan ribuan orang terluka. Beberapa negara Arab lebih memilih menunggu hasil berunding diantara mereka untuk tindakannya, bahkan hari ini Mesir melarang bantuan kemanusiaan melalui wilayahnya untuk palestina. Selain itu, dibelahan bumi yang lain ; Uni Eropa hari ini baru mulai berunding untuk aksi pengiriman bantuan makanan untuk Palestina. Mereka kebanyakan berunding bukan untuk menghentikan serangan Israel, tapi memberi bantuan setelah serangan itu lewat. Berbeda sekali dengan serangan AS ke Irak dulu, baru dugaan ada senjata pemusnah masal saja, tindakan represif langsung diambil. Sangat tidak berperikemanusiaan.

Beberapa penggiat pro palestina yang mencoba mengirimkan bantuan medis lewat laut dihajar oleh kapal israel. Padahal hari ahad lalu Israel baru menghajar sebuah gudang yang berisi persediaan medis yang sudah sangat menipis di jalur gaza.

Berikut ini aku mencoba menyusun kronologis peristiwa serangan Israel ke Jalur Gaza Palestina sampai hari keempat (30/12/200 8) :

Hari pertama :

  • Sabtu siang (sekitar 11.30) Israel memulai serangannya menggunakan pesawat jet F16 buatan Amerika Serikat ke Gaza dengan 30 kali serangan
  • dilanjutkan pada malam hari sebanyak 20 kali serangan, salah satunya serangan ke sebuah masjid di kawasan Rimal, Jalur Gaza dan ke stasiun televisi al-Aqsa. Karena gedung stasiun televisi itu hancur, TV al-Aqsa mengudara dengan menggunakan mobil unit siaran luar.

Hari kedua :
Minggu pagi dengan target serangan ke berbagai tempat termasuk sebuah masjid, stasiun televisi dan sebuah truk bahan bakar yang sedang melaju di luar kota Rafah, dekat perbatasan dengan Mesir.

Hari ketiga :

  • Israel mengebom sebuah gudang yang berisi persediaan medis.
  • Sejumlah truk yang membawa bantuan dan warga Palestina yang luka diijinkan melintas pada hari Senin melalui perbatasan Mesir - GAza
  • Pasukan HAMAS dan organisasi perlawanan palestina lain mulai menyerang balik dengan roket-roketnya ke wilayah Israel antara lain kota Ashdod yang jaraknya sekitar 23 mil dari Jalur Gaza, kota Nahal Oz di gurun Negev, dekat perbatasan Gaza dan kota Ashkelon
  • tiga masjid di Jabaliya dan Khan Younis hancur lebur akibat gempuran bom-bom Israel

Hari keempat :

  • Pesawat-pesawat jet tempur Israel kembali membom sejumlah gedung pemerintah dan pos-pos keamanan.
  • kapal perang Israel menabrak kapal pegiat pro Palestina yang berusaha menembus blokade Gaza dengan kapal laut sekitar 70 kilometer di lepas pantai Israel di wilayah perairan internasional yang membawa bantuan medis untuk palestina.

Sumber gambar dari BBC

Nah, Bagiku pribadi hanya doa yang bisa kupanjatkan untuk rakyat palestina. Sungguh selemah2 iman… (sedihnya)

Mudah2an, tulisan ini bisa memberikan gambaran bahwa sebagian besar negara2 di dunia, nampaknya masih perlu belajar banyak soal kemanusiaan.

Pemanasan global

Pemanasan global

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Langsung ke: navigasi, cari
Temperatur rata-rata global 1850 sampai 2006 relatif terhadap 1961–1990
Anomali temperatur permukaan rata-rata selama periode 1995 sampai 2004 dengan dibandingkan pada temperatur rata-rata dari 1940 sampai 1980

Pemanasan global adalah adanya proses peningkatan suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan Bumi.

Suhu rata-rata global pada permukaan Bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18 °C (1.33 ± 0.32 °F) selama seratus tahun terakhir. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa, "sebagian besar peningkatan suhu rata-rata global sejak pertengahan abad ke-20 kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas manusia"[1] melalui efek rumah kaca. Kesimpulan dasar ini telah dikemukakan oleh setidaknya 30 badan ilmiah dan akademik, termasuk semua akademi sains nasional dari negara-negara G8. Akan tetapi, masih terdapat beberapa ilmuwan yang tidak setuju dengan beberapa kesimpulan yang dikemukakan IPCC tersebut.

Model iklim yang dijadikan acuan oleh projek IPCC menunjukkan suhu permukaan global akan meningkat 1.1 hingga 6.4 °C (2.0 hingga 11.5 °F) antara tahun 1990 dan 2100.[1] Perbedaan angka perkiraan itu disebabkan oleh penggunaan skenario-skenario berbeda mengenai emisi gas-gas rumah kaca di masa mendatang, serta model-model sensitivitas iklim yang berbeda. Walaupun sebagian besar penelitian terfokus pada periode hingga 2100, pemanasan dan kenaikan muka air laut diperkirakan akan terus berlanjut selama lebih dari seribu tahun walaupun tingkat emisi gas rumah kaca telah stabil.[1] Ini mencerminkan besarnya kapasitas panas dari lautan.

Meningkatnya suhu global diperkirakan akan menyebabkan perubahan-perubahan yang lain seperti naiknya permukaan air laut, meningkatnya intensitas fenomena cuaca yang ekstrim,[2] serta perubahan jumlah dan pola presipitasi. Akibat-akibat pemanasan global yang lain adalah terpengaruhnya hasil pertanian, hilangnya gletser, dan punahnya berbagai jenis hewan.

Beberapa hal-hal yang masih diragukan para ilmuwan adalah mengenai jumlah pemanasan yang diperkirakan akan terjadi di masa depan, dan bagaimana pemanasan serta perubahan-perubahan yang terjadi tersebut akan bervariasi dari satu daerah ke daerah yang lain. Hingga saat ini masih terjadi perdebatan politik dan publik di dunia mengenai apa, jika ada, tindakan yang harus dilakukan untuk mengurangi atau membalikkan pemanasan lebih lanjut atau untuk beradaptasi terhadap konsekuensi-konsekuensi yang ada. Sebagian besar pemerintahan negara-negara di dunia telah menandatangani dan meratifikasi Protokol Kyoto, yang mengarah pada pengurangan emisi gas-gas rumah kaca.


Penyebab pemanasan global

Efek rumah kaca

Segala sumber energi yang terdapat di Bumi berasal dari Matahari. Sebagian besar energi tersebut berbentuk radiasi gelombang pendek, termasuk cahaya tampak. Ketika energi ini tiba permukaan Bumi, ia berubah dari cahaya menjadi panas yang menghangatkan Bumi. Permukaan Bumi, akan menyerap sebagian panas dan memantulkan kembali sisanya. Sebagian dari panas ini berwujud radiasi infra merah gelombang panjang ke angkasa luar. Namun sebagian panas tetap terperangkap di atmosfer bumi akibat menumpuknya jumlah gas rumah kaca antara lain uap air, karbon dioksida, dan metana yang menjadi perangkap gelombang radiasi ini. Gas-gas ini menyerap dan memantulkan kembali radiasi gelombang yang dipancarkan Bumi dan akibatnya panas tersebut akan tersimpan di permukaan Bumi. Keadaan ini terjadi terus menerus sehingga mengakibatkan suhu rata-rata tahunan bumi terus meningkat.

Gas-gas tersebut berfungsi sebagaimana gas dalam rumah kaca. Dengan semakin meningkatnya konsentrasi gas-gas ini di atmosfer, semakin banyak panas yang terperangkap di bawahnya.

Efek rumah kaca ini sangat dibutuhkan oleh segala makhluk hidup yang ada di bumi, karena tanpanya, planet ini akan menjadi sangat dingin. Dengan temperatur rata-rata sebesar 15 °C (59 °F), bumi sebenarnya telah lebih panas 33 °C (59 °F)dari temperaturnya semula, jika tidak ada efek rumah kaca suhu bumi hanya -18 °C sehingga es akan menutupi seluruh permukaan Bumi. Akan tetapi sebaliknya, apabila gas-gas tersebut telah berlebihan di atmosfer, akan mengakibatkan pemanasan global.

[sunting] Efek umpan balik

Anasir penyebab pemanasan global juga dipengaruhi oleh berbagai proses umpan balik yang dihasilkannya. Sebagai contoh adalah pada penguapan air. Pada kasus pemanasan akibat bertambahnya gas-gas rumah kaca seperti CO2, pemanasan pada awalnya akan menyebabkan lebih banyaknya air yang menguap ke atmosfer. Karena uap air sendiri merupakan gas rumah kaca, pemanasan akan terus berlanjut dan menambah jumlah uap air di udara sampai tercapainya suatu kesetimbangan konsentrasi uap air. Efek rumah kaca yang dihasilkannya lebih besar bila dibandingkan oleh akibat gas CO2 sendiri. (Walaupun umpan balik ini meningkatkan kandungan air absolut di udara, kelembaban relatif udara hampir konstan atau bahkan agak menurun karena udara menjadi menghangat).[3] Umpan balik ini hanya berdampak secara perlahan-lahan karena CO2 memiliki usia yang panjang di atmosfer.

Efek umpan balik karena pengaruh awan sedang menjadi objek penelitian saat ini. Bila dilihat dari bawah, awan akan memantulkan kembali radiasi infra merah ke permukaan, sehingga akan meningkatkan efek pemanasan. Sebaliknya bila dilihat dari atas, awan tersebut akan memantulkan sinar Matahari dan radiasi infra merah ke angkasa, sehingga meningkatkan efek pendinginan. Apakah efek netto-nya menghasilkan pemanasan atau pendinginan tergantung pada beberapa detail-detail tertentu seperti tipe dan ketinggian awan tersebut. Detail-detail ini sulit direpresentasikan dalam model iklim, antara lain karena awan sangat kecil bila dibandingkan dengan jarak antara batas-batas komputasional dalam model iklim (sekitar 125 hingga 500 km untuk model yang digunakan dalam Laporan Pandangan IPCC ke Empat). Walaupun demikian, umpan balik awan berada pada peringkat dua bila dibandingkan dengan umpan balik uap air dan dianggap positif (menambah pemanasan) dalam semua model yang digunakan dalam Laporan Pandangan IPCC ke Empat.[3]

Umpan balik penting lainnya adalah hilangnya kemampuan memantulkan cahaya (albedo) oleh es.[4] Ketika temperatur global meningkat, es yang berada di dekat kutub mencair dengan kecepatan yang terus meningkat. Bersamaan dengan melelehnya es tersebut, daratan atau air dibawahnya akan terbuka. Baik daratan maupun air memiliki kemampuan memantulkan cahaya lebih sedikit bila dibandingkan dengan es, dan akibatnya akan menyerap lebih banyak radiasi Matahari. Hal ini akan menambah pemanasan dan menimbulkan lebih banyak lagi es yang mencair, menjadi suatu siklus yang berkelanjutan.

Umpan balik positif akibat terlepasnya CO2 dan CH4 dari melunaknya tanah beku (permafrost) adalah mekanisme lainnya yang berkontribusi terhadap pemanasan. Selain itu, es yang meleleh juga akan melepas CH4 yang juga menimbulkan umpan balik positif.

Kemampuan lautan untuk menyerap karbon juga akan berkurang bila ia menghangat, hal ini diakibatkan oleh menurunya tingkat nutrien pada zona mesopelagic sehingga membatasi pertumbuhan diatom daripada fitoplankton yang merupakan penyerap karbon yang rendah.[5]

[sunting] Variasi Matahari

Variasi Matahari selama 30 tahun terakhir.
!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Variasi Matahari

Terdapat hipotesa yang menyatakan bahwa variasi dari Matahari, dengan kemungkinan diperkuat oleh umpan balik dari awan, dapat memberi kontribusi dalam pemanasan saat ini.[6] Perbedaan antara mekanisme ini dengan pemanasan akibat efek rumah kaca adalah meningkatnya aktivitas Matahari akan memanaskan stratosfer sebaliknya efek rumah kaca akan mendinginkan stratosfer. Pendinginan stratosfer bagian bawah paling tidak telah diamati sejak tahun 1960,[7] yang tidak akan terjadi bila aktivitas Matahari menjadi kontributor utama pemanasan saat ini. (Penipisan lapisan ozon juga dapat memberikan efek pendinginan tersebut tetapi penipisan tersebut terjadi mulai akhir tahun 1970-an.) Fenomena variasi Matahari dikombinasikan dengan aktivitas gunung berapi mungkin telah memberikan efek pemanasan dari masa pra-industri hingga tahun 1950, serta efek pendinginan sejak tahun 1950.[8][9]

Ada beberapa hasil penelitian yang menyatakan bahwa kontribusi Matahari mungkin telah diabaikan dalam pemanasan global. Dua ilmuan dari Duke University mengestimasikan bahwa Matahari mungkin telah berkontribusi terhadap 45-50% peningkatan temperatur rata-rata global selama periode 1900-2000, dan sekitar 25-35% antara tahun 1980 dan 2000.[10] Stott dan rekannya mengemukakan bahwa model iklim yang dijadikan pedoman saat ini membuat estimasi berlebihan terhadap efek gas-gas rumah kaca dibandingkan dengan pengaruh Matahari; mereka juga mengemukakan bahwa efek pendinginan dari debu vulkanik dan aerosol sulfat juga telah dipandang remeh.[11] Walaupun demikian, mereka menyimpulkan bahwa bahkan dengan meningkatkan sensitivitas iklim terhadap pengaruh Matahari sekalipun, sebagian besar pemanasan yang terjadi pada dekade-dekade terakhir ini disebabkan oleh gas-gas rumah kaca.

Pada tahun 2006, sebuah tim ilmuan dari Amerika Serikat, Jerman dan Swiss menyatakan bahwa mereka tidak menemukan adanya peningkatan tingkat "keterangan" dari Matahari pada seribu tahun terakhir ini. Siklus Matahari hanya memberi peningkatan kecil sekitar 0,07% dalam tingkat "keterangannya" selama 30 tahun terakhir. Efek ini terlalu kecil untuk berkontribusi terhadap pemansan global.[12][13] Sebuah penelitian oleh Lockwood dan Fröhlich menemukan bahwa tidak ada hubungan antara pemanasan global dengan variasi Matahari sejak tahun 1985, baik melalui variasi dari output Matahari maupun variasi dalam sinar kosmis.[14]

[sunting] Peternakan (konsumsi daging)

Dalam laporan terbaru, Fourth Assessment Report, yang dikeluarkan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), satu badan PBB yang terdiri dari 1.300 ilmuwan dari seluruh dunia, terungkap bahwa 90% aktivitas manusia selama 250 tahun terakhir inilah yang membuat planet kita semakin panas. Sejak Revolusi Industri, tingkat karbon dioksida beranjak naik mulai dari 280 ppm menjadi 379 ppm dalam 150 tahun terakhir. Tidak main-main, peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfer Bumi itu tertinggi sejak 650.000 tahun terakhir! IPCC juga menyimpulkan bahwa 90% gas rumah kaca yang dihasilkan manusia, seperti karbon dioksida, metana, dan dinitrogen oksida, khususnya selama 50 tahun ini, telah secara drastis menaikkan suhu Bumi. Sebelum masa industri, aktivitas manusia tidak banyak mengeluarkan gas rumah kaca, tetapi pertambahan penduduk, pembabatan hutan, industri peternakan, dan penggunaan bahan bakar fosil menyebabkan gas rumah kaca di atmosfer bertambah banyak dan menyumbang pada pemanasan global.

Penelitian yang telah dilakukan para ahli selama beberapa dekade terakhir ini menunjukkan bahwa ternyata makin panasnya planet bumi dan berubahnya sistem iklim di bumi terkait langsung dengan gas-gas rumah kaca yang dihasilkan oleh aktifitas manusia. Khusus untuk mengawasi sebab dan dampak yang dihasilkan oleh pemanasan global, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) membentuk sebuah kelompok peneliti yang disebut dengan Panel Antarpemerintah Tentang Perubahan Iklim atau disebut International Panel on Climate Change (IPCC). Setiap beberapa tahun sekali, ribuan ahli dan peneliti-peneliti terbaik dunia yang tergabung dalam IPCC mengadakan pertemuan untuk mendiskusikan penemuan-penemuan terbaru yang berhubungan dengan pemanasan global, dan membuat kesimpulan dari laporan dan penemuan- penemuan baru yang berhasil dikumpulkan, kemudian membuat persetujuan untuk solusi dari masalah tersebut . Salah satu hal pertama yang mereka temukan adalah bahwa beberapa jenis gas rumah kaca bertanggung jawab langsung terhadap pemanasan yang kita alami, dan manusialah kontributor terbesar dari terciptanya gas-gas rumah kaca tersebut. Kebanyakan dari gas rumah kaca ini dihasilkan oleh peternakan, pembakaran bahan bakar fosil pada kendaraan bermotor, pabrik-pabrik modern, pembangkit tenaga listrik, serta pembabatan hutan.

Tetapi, menurut Laporan Perserikatan Bangsa Bangsa tentang peternakan dan lingkungan yang diterbitkan pada tahun 2006 mengungkapkan bahwa, "industri peternakan adalah penghasil emisi gas rumah kaca yang terbesar (18%), jumlah ini lebih banyak dari gabungan emisi gas rumah kaca seluruh transportasi di seluruh dunia (13%). " Hampir seperlima (20 persen) dari emisi karbon berasal dari peternakan. Jumlah ini melampaui jumlah emisi gabungan yang berasal dari semua kendaraan di dunia!

Sektor peternakan telah menyumbang 9 persen karbon dioksida, 37 persen gas metana (mempunyai efek pemanasan 72 kali lebih kuat dari CO2 dalam jangka 20 tahun, dan 23 kali dalam jangka 100 tahun), serta 65 persen dinitrogen oksida (mempunyai efek pemanasan 296 kali lebih lebih kuat dari CO2). Peternakan juga menimbulkan 64 persen amonia yang dihasilkan karena campur tangan manusia sehingga mengakibatkan hujan asam.

Peternakan juga telah menjadi penyebab utama dari kerusakan tanah dan polusi air. Saat ini peternakan menggunakan 30 persen dari permukaan tanah di Bumi, dan bahkan lebih banyak lahan serta air yang digunakan untuk menanam makanan ternak. Menurut laporan Bapak Steinfeld, pengarang senior dari Organisasi Pangan dan Pertanian, Dampak Buruk yang Lama dari Peternakan - Isu dan Pilihan Lingkungan (Livestock's Long Shadow-Environmental Issues and Options), peternakan adalah "penggerak utama dari penebangan hutan .... kira-kira 70 persen dari bekas hutan di Amazon telah dialih-fungsikan menjadi ladang ternak. Selain itu, ladang pakan ternak telah menurunkan mutu tanah. Kira-kira 20 persen dari padang rumput turun mutunya karena pemeliharaan ternak yang berlebihan, pemadatan, dan erosi. Peternakan juga bertanggung jawab atas konsumsi dan polusi air yang sangat banyak. Di Amerika Serikat sendiri, trilyunan galon air irigasi digunakan untuk menanam pakan ternak setiap tahunnya. Sekitar 85 persen dari sumber air bersih di Amerika Serikat digunakan untuk itu. Ternak juga menimbulkan limbah biologi berlebihan bagi ekosistem.

Konsumsi air untuk menghasilkan satu kilo makanan dalam pertanian pakan ternak di Amerika Serikat

1 kg daging Air (liter)
Daging sapi 1.000.000
Babi 3.260
Ayam 12.665
Kedelai 2.000
Beras 1.912
Kentang 500
Gandum 200
Slada 180


Selain kerusakan terhadap lingkungan dan ekosistem, tidak sulit untuk menghitung bahwa industri ternak sama sekali tidak hemat energi. Industri ternak memerlukan energi yang berlimpah untuk mengubah ternak menjadi daging di atas meja makan orang. Untuk memproduksi satu kilogram daging, telah menghasilkan emisi karbon dioksida sebanyak 36,4 kilo. Sedangkan untuk memproduksi satu kalori protein, kita hanya memerlukan dua kalori bahan bakar fosil untuk menghasilkan kacang kedelai, tiga kalori untuk jagung dan gandum; akan tetapi memerlukan 54 kalori energi minyak tanah untuk protein daging sapi!

Itu berarti kita telah memboroskan bahan bakar fosil 27 kali lebih banyak hanya untuk membuat sebuah hamburger daripada konsumsi yang diperlukan untuk membuat hamburger dari kacang kedelai!

Dengan menggabungkan biaya energi, konsumsi air, penggunaan lahan, polusi lingkungan, kerusakan ekosistem, tidaklah mengherankan jika satu orang berdiet daging dapat memberi makan 15 orang berdiet tumbuh-tumbuhan atau lebih.


Marilah sekarang kita membahas apa saja yang menjadi sumber gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global.

Anda mungkin penasaran bagian mana dari sektor peternakan yang menyumbang emisi gas rumah kaca. Berikut garis besarnya menurut FAO:

1. Emisi karbon dari pembuatan pakan ternak

a. Penggunaan bahan bakar fosil dalam pembuatan pupuk menyumbang 41 juta ton CO2 setiap tahunnya

b. Penggunaan bahan bakar fosil di peternakan menyumbang 90 juta ton CO2 per tahunnya (misal diesel atau LPG)

c. Alih fungsi lahan yang digunakan untuk peternakan menyumbang 2,4 milyar ton CO2 per tahunnya, termasuk di sini lahan yang diubah untuk merumput ternak, lahan yang diubah untuk menanam kacang kedelai sebagai makanan ternak, atau pembukaan hutan untuk lahan peternakan

d. Karbon yang terlepas dari pengolahan tanah pertanian untuk pakan ternak (misal jagung, gandum, atau kacang kedelai) dapat mencapai 28 juta CO2 per tahunnya. Perlu Anda ketahui, setidaknya 80% panen kacang kedelai dan 50% panen jagung di dunia digunakan sebagai makanan ternak.7

e. Karbon yang terlepas dari padang rumput karena terkikis menjadi gurun menyumbang 100 juta ton CO2 per tahunnya 2. Emisi karbon dari sistem pencernaan hewan

a. Metana yang dilepaskan dalam proses pencernaan hewan dapat mencapai 86 juta ton per tahunnya.

b. Metana yang terlepas dari pupuk kotoran hewan dapat mencapai 18 juta ton per tahunnya.

3. Emisi karbon dari pengolahan dan pengangkutan daging hewan ternak ke konsumen

a. Emisi CO2 dari pengolahan daging dapat mencapai puluhan juta ton per tahun.

b. Emisi CO2 dari pengangkutan produk hewan ternak dapat mencapai lebih dari 0,8 juta ton per tahun.


Dari uraian di atas, Anda bisa melihat besaran sumbangan emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari tiap komponen sektor peternakan. Di Australia, emisi gas rumah kaca dari sektor peternakan lebih besar dari pembangkit listrik tenaga batu bara. Dalam kurun waktu 20 tahun, sektor peternakan Australia menyumbang 3 juta ton metana setiap tahun (setara dengan 216 juta ton CO2), sedangkan sektor pembangkit listrik tenaga batu bara menyumbang 180 juta ton CO2 per tahunnya.

Tahun lalu, penyelidik dari Departemen Sains Geofisika (Department of Geophysical Sciences) Universitas Chicago, Gidon Eshel dan Pamela Martin, juga menyingkap hubungan antara produksi makanan dan masalah lingkungan. Mereka mengukur jumlah gas rumah kaca yang disebabkan oleh daging merah, ikan, unggas, susu, dan telur, serta membandingkan jumlah tersebut dengan seorang yang berdiet vegan. Mereka menemukan bahwa jika diet standar Amerika beralih ke diet tumbuh-tumbuhan, maka akan dapat mencegah satu setengah ton emisi gas rumah kaca ektra per orang per tahun. Kontrasnya, beralih dari sebuah sedan standar seperti Toyota Camry ke sebuah Toyota Prius hibrida menghemat kurang lebih satu ton emisi CO2.

[sunting] Mengukur pemanasan global

Hasil pengukuran konsentrasi CO2 di Mauna Loa

Pada awal 1896, para ilmuan beranggapan bahwa membakar bahan bakar fosil akan mengubah komposisi atmosfer dan dapat meningkatkan temperatur rata-rata global. Hipotesis ini dikonfirmasi tahun 1957 ketika para peneliti yang bekerja pada program penelitian global yaitu International Geophysical Year, mengambil sampel atmosfer dari puncak gunung Mauna Loa di Hawai. Hasil pengukurannya menunjukkan terjadi peningkatan konsentrasi karbon dioksida di atmosfer. Setelah itu, komposisi dari atmosfer terus diukur dengan cermat. Data-data yang dikumpulkan menunjukkan bahwa memang terjadi peningkatan konsentrasi dari gas-gas rumah kaca di atmosfer.

Para ilmuan juga telah lama menduga bahwa iklim global semakin menghangat, tetapi mereka tidak mampu memberikan bukti-bukti yang tepat. Temperatur terus bervariasi dari waktu ke waktu dan dari lokasi yang satu ke lokasi lainnya. Perlu bertahun-tahun pengamatan iklim untuk memperoleh data-data yang menunjukkan suatu kecenderungan (trend) yang jelas. Catatan pada akhir 1980-an agak memperlihatkan kecenderungan penghangatan ini, akan tetapi data statistik ini hanya sedikit dan tidak dapat dipercaya. Stasiun cuaca pada awalnya, terletak dekat dengan daerah perkotaan sehingga pengukuran temperatur akan dipengaruhi oleh panas yang dipancarkan oleh bangunan dan kendaraan dan juga panas yang disimpan oleh material bangunan dan jalan. Sejak 1957, data-data diperoleh dari stasiun cuaca yang terpercaya (terletak jauh dari perkotaan), serta dari satelit. Data-data ini memberikan pengukuran yang lebih akurat, terutama pada 70 persen permukaan planet yang tertutup lautan. Data-data yang lebih akurat ini menunjukkan bahwa kecenderungan menghangatnya permukaan Bumi benar-benar terjadi. Jika dilihat pada akhir abad ke-20, tercatat bahwa sepuluh tahun terhangat selama seratus tahun terakhir terjadi setelah tahun 1980, dan tiga tahun terpanas terjadi setelah tahun 1990, dengan 1998 menjadi yang paling panas.

Dalam laporan yang dikeluarkannya tahun 2001, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa temperatur udara global telah meningkat 0,6 derajat Celsius (1 derajat Fahrenheit) sejak 1861. Panel setuju bahwa pemanasan tersebut terutama disebabkan oleh aktifitas manusia yang menambah gas-gas rumah kaca ke atmosfer. IPCC memprediksi peningkatan temperatur rata-rata global akan meningkat 1.1 hingga 6.4 °C (2.0 hingga 11.5 °F) antara tahun 1990 dan 2100.

IPCC panel juga memperingatkan, bahwa meskipun konsentrasi gas di atmosfer tidak bertambah lagi sejak tahun 2100, iklim tetap terus menghangat selama periode tertentu akibat emisi yang telah dilepaskan sebelumnya. karbon dioksida akan tetap berada di atmosfer selama seratus tahun atau lebih sebelum alam mampu menyerapnya kembali. Jika emisi gas rumah kaca terus meningkat, para ahli memprediksi, konsentrasi karbondioksioda di atmosfer dapat meningkat hingga tiga kali lipat pada awal abad ke-22 bila dibandingkan masa sebelum era industri. Akibatnya, akan terjadi perubahan iklim secara dramatis. Walaupun sebenarnya peristiwa perubahan iklim ini telah terjadi beberapa kali sepanjang sejarah Bumi, manusia akan menghadapi masalah ini dengan resiko populasi yang sangat besar.

[sunting] Model iklim

Prakiraan peningkatan temperature terhadap beberapa skenario kestabilan (pita berwarna) berdasarkan Laporan Pandangan IPCC ke Empat. Garis hitam menunjukkan prakiraan terbaik; garis merah dan biru menunjukkan batas-batas kemungkinan yang dapat terjadi.
Perhitungan pemanasan global pada tahun 2001 dari beberapa model iklim berdasarkan scenario SRES A2, yang mengasumsikan tidak ada tindakan yang dilakukan untuk mengurangi emisi.
!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Model iklim global

Para ilmuan telah mempelajari pemanasan global berdasarkan model-model computer berdasarkan prinsip-prinsip dasar dinamikan fluida, transfer radiasi, dan proses-proses lainya, dengan beberapa penyederhanaan disebabkan keterbatasan kemampuan komputer. Model-model ini memprediksikan bahwa penambahan gas-gas rumah kaca berefek pada iklim yang lebih hangat.[15] Walaupun digunakan asumsi-asumsi yang sama terhadap konsentrasi gas rumah kaca di masa depan, sensitivitas iklimnya masih akan berada pada suatu rentang tertentu.

Dengan memasukkan unsur-unsur ketidakpastian terhadap konsentrasi gas rumah kaca dan pemodelan iklim, IPCC memperkirakan pemanasan sekitar 1.1 °C hingga 6.4 °C (2.0 °F hingga 11.5 °F) antara tahun 1990 dan 2100.[1] Model-model iklim juga digunakan untuk menyelidiki penyebab-penyebab perubahan iklim yang terjadi saat ini dengan membandingkan perubahan yang teramati dengan hasil prediksi model terhadap berbagai penyebab, baik alami maupun aktivitas manusia.

Model iklim saat ini menghasilkan kemiripan yang cukup baik dengan perubahan temperature global hasil pengamatan selama seratus tahun terakhir, tetapi tidak mensimulasi semua aspek dari iklim.[16] Model-model ini tidak secara pasti menyatakan bahwa pemanasan yang terjadi antara tahun 1910 hingga 1945 disebabkan oleh proses alami atau aktivitas manusia; akan tetapi; mereka menunjukkan bahwa pemanasan sejak tahun 1975 didominasi oleh emisi gas-gas yang dihasilkan manusia.

Sebagian besar model-model iklim, ketika menghitung iklim di masa depan, dilakukan berdasarkan skenario-skenario gas rumah kaca, biasanya dari Laporan Khusus terhadap Skenario Emisi (Special Report on Emissions Scenarios / SRES) IPCC. Yang jarang dilakukan, model menghitung dengan menambahkan simulasi terhadap siklus karbon; yang biasanya menghasilkan umpan balik yang positif, walaupun responnya masih belum pasti (untuk skenario A2 SRES, respon bervariasi antara penambahan 20 dan 200 ppm CO2). Beberapa studi-studi juga menunjukkan beberapa umpan balik positif.[17][18][19]

Pengaruh awan juga merupakan salah satu sumber yang menimbulkan ketidakpastian terhadap model-model yang dihasilkan saat ini, walaupun sekarang telah ada kemajuan dalam menyelesaikan masalah ini. [20] Saat ini juga terjadi diskusi-diskusi yang masih berlanjut mengenai apakah model-model iklim mengesampingkan efek-efek umpan balik dan tak langsung dari variasi Matahari.

[sunting] Dampak pemanasan global

Para ilmuan menggunakan model komputer dari temperatur, pola presipitasi, dan sirkulasi atmosfer untuk mempelajari pemanasan global. Berdasarkan model tersebut, para ilmuan telah membuat beberapa prakiraan mengenai dampak pemanasan global terhadap cuaca, tinggi permukaan air laut, pantai, pertanian, kehidupan hewan liar dan kesehatan manusia.

[sunting] Iklim Mulai Tidak Stabil

Para ilmuan memperkirakan bahwa selama pemanasan global, daerah bagian Utara dari belahan Bumi Utara (Northern Hemisphere) akan memanas lebih dari daerah-daerah lain di Bumi. Akibatnya, gunung-gunung es akan mencair dan daratan akan mengecil. Akan lebih sedikit es yang terapung di perairan Utara tersebut. Daerah-daerah yang sebelumnya mengalami salju ringan, mungkin tidak akan mengalaminya lagi. Pada pegunungan di daerah subtropis, bagian yang ditutupi salju akan semakin sedikit serta akan lebih cepat mencair. Musim tanam akan lebih panjang di beberapa area. Temperatur pada musim dingin dan malam hari akan cenderung untuk meningkat.

Daerah hangat akan menjadi lebih lembab karena lebih banyak air yang menguap dari lautan. Para ilmuan belum begitu yakin apakah kelembaban tersebut malah akan meningkatkan atau menurunkan pemanasan yang lebih jauh lagi. Hal ini disebabkan karena uap air merupakan gas rumah kaca, sehingga keberadaannya akan meningkatkan efek insulasi pada atmosfer. Akan tetapi, uap air yang lebih banyak juga akan membentuk awan yang lebih banyak, sehingga akan memantulkan cahaya matahari kembali ke angkasa luar, di mana hal ini akan menurunkan proses pemanasan (lihat siklus air). Kelembaban yang tinggi akan meningkatkan curah hujan, secara rata-rata, sekitar 1 persen untuk setiap derajat Fahrenheit pemanasan. (Curah hujan di seluruh dunia telah meningkat sebesar 1 persen dalam seratus tahun terakhir ini)[21]. Badai akan menjadi lebih sering. Selain itu, air akan lebih cepat menguap dari tanah. Akibatnya beberapa daerah akan menjadi lebih kering dari sebelumnya. Angin akan bertiup lebih kencang dan mungkin dengan pola yang berbeda. Topan badai (hurricane) yang memperoleh kekuatannya dari penguapan air, akan menjadi lebih besar. Berlawanan dengan pemanasan yang terjadi, beberapa periode yang sangat dingin mungkin akan terjadi. Pola cuaca menjadi tidak terprediksi dan lebih ekstrim.

[sunting] Peningkatan Permukaan Laut

Perubahan tinggi rata-rata muka laut diukur dari daerah dengan lingkungan yang stabil secara geologi.

Ketika atmosfer menghangat, lapisan permukaan lautan juga akan menghangat, sehingga volumenya akan membesar dan menaikkan tinggi permukaan laut. Pemanasan juga akan mencairkan banyak es di kutub, terutama sekitar Greenland, yang lebih memperbanyak volume air di laut. Tinggi muka laut di seluruh dunia telah meningkat 10 - 25 cm (4 - 10 inchi) selama abad ke-20, dan para ilmuan IPCC memprediksi peningkatan lebih lanjut 9 - 88 cm (4 - 35 inchi) pada abad ke-21.

Perubahan tinggi muka laut akan sangat mempengaruhi kehidupan di daerah pantai. Kenaikan 100 cm (40 inchi) akan menenggelamkan 6 persen daerah Belanda, 17,5 persen daerah Bangladesh, dan banyak pulau-pulau. Erosi dari tebing, pantai, dan bukit pasir akan meningkat. Ketika tinggi lautan mencapai muara sungai, banjir akibat air pasang akan meningkat di daratan. Negara-negara kaya akan menghabiskan dana yang sangat besar untuk melindungi daerah pantainya, sedangkan negara-negara miskin mungkin hanya dapat melakukan evakuasi dari daerah pantai.

Bahkan sedikit kenaikan tinggi muka laut akan sangat mempengaruhi ekosistem pantai. Kenaikan 50 cm (20 inchi) akan menenggelamkan separuh dari rawa-rawa pantai di Amerika Serikat. Rawa-rawa baru juga akan terbentuk, tetapi tidak di area perkotaan dan daerah yang sudah dibangun. Kenaikan muka laut ini akan menutupi sebagian besar dari Florida Everglades.

[sunting] Suhu Global Cenderung Meningkat

Orang mungkin beranggapan bahwa Bumi yang hangat akan menghasilkan lebih banyak makanan dari sebelumnya, tetapi hal ini sebenarnya tidak sama di beberapa tempat. Bagian Selatan Kanada, sebagai contoh, mungkin akan mendapat keuntungan dari lebih tingginya curah hujan dan lebih lamanya masa tanam. Di lain pihak, lahan pertanian tropis semi kering di beberapa bagian Afrika mungkin tidak dapat tumbuh. Daerah pertanian gurun yang menggunakan air irigasi dari gunung-gunung yang jauh dapat menderita jika snowpack (kumpulan salju) musim dingin, yang berfungsi sebagai reservoir alami, akan mencair sebelum puncak bulan-bulan masa tanam. Tanaman pangan dan hutan dapat mengalami serangan serangga dan penyakit yang lebih hebat.

[sunting] Gangguan Ekologis

Hewan dan tumbuhan menjadi makhluk hidup yang sulit menghindar dari efek pemanasan ini karena sebagian besar lahan telah dikuasai manusia. Dalam pemanasan global, hewan cenderung untuk bermigrasi ke arah kutub atau ke atas pegunungan. Tumbuhan akan mengubah arah pertumbuhannya, mencari daerah baru karena habitat lamanya menjadi terlalu hangat. Akan tetapi, pembangunan manusia akan menghalangi perpindahan ini. Spesies-spesies yang bermigrasi ke utara atau selatan yang terhalangi oleh kota-kota atau lahan-lahan pertanian mungkin akan mati. Beberapa tipe spesies yang tidak mampu secara cepat berpindah menuju kutub mungkin juga akan musnah.

[sunting] Dampak Sosial Dan Politik

Perubahan cuaca dan lautan dapat mengakibatkan munculnya penyakit-penyakit yang berhubungan dengan panas (heat stroke) dan kematian. Temperatur yang panas juga dapat menyebabkan gagal panen sehingga akan muncul kelaparan dan malnutrisi. Perubahan cuaca yang ekstrem dan peningkatan permukaan air laut akibat mencairnya es di kutub utara dapat menyebabkan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan bencana alam (banjir, badai dan kebakaran) dan kematian akibat trauma. Timbulnya bencana alam biasanya disertai dengan perpindahan penduduk ke tempat-tempat pengungsian dimana sering muncul penyakit, seperti: diare, malnutrisi, defisiensi mikronutrien, trauma psikologis, penyakit kulit, dan lain-lain.

Pergeseran ekosistem dapat memberi dampak pada penyebaran penyakit melalui air (Waterborne diseases) maupun penyebaran penyakit melalui vektor (vector-borne diseases). Seperti meningkatnya kejadian Demam Berdarah karena munculnya ruang (ekosistem) baru untuk nyamuk ini berkembang biak. Dengan adamya perubahan iklim ini maka ada beberapa spesies vektor penyakit (eq Aedes Agipty), Virus, bakteri, plasmodium menjadi lebih resisten terhadap obat tertentu yang target nya adala organisme tersebut. Selain itu bisa diprediksi kan bahwa ada beberapa spesies yang secara alamiah akan terseleksi ataupun punah dikarenakan perbuhan ekosistem yang ekstreem ini. hal ini juga akan berdampak perubahan iklim (Climat change)yang bis berdampak kepada peningkatan kasus penyakit tertentu seperti ISPA (kemarau panjang / kebakaran hutan, DBD Kaitan dengan musim hujan tidak menentu)

Gradasi Lingkungan yang disebabkan oleh pencemaran limbah pada sungai juga berkontribusi pada waterborne diseases dan vector-borne disease. Ditambah pula dengan polusi udara hasil emisi gas-gas pabrik yang tidak terkontrol selanjutnya akan berkontribusi terhadap penyakit-penyakit saluran pernafasan seperti asma, alergi, coccidiodomycosis, penyakit jantung dan paru kronis, dan lain-lain.

[sunting] Perdebatan tentang pemanasan global

Tidak semua ilmuwan setuju tentang keadaan dan akibat dari pemanasan global. Beberapa pengamat masih mempertanyakan apakah temperatur benar-benar meningkat. Yang lainnya mengakui perubahan yang telah terjadi tetapi tetap membantah bahwa masih terlalu dini untuk membuat prediksi tentang keadaan di masa depan. Kritikan seperti ini juga dapat membantah bukti-bukti yang menunjukkan kontribusi manusia terhadap pemanasan global dengan berargumen bahwa siklus alami dapat juga meningkatkan temperatur. Mereka juga menunjukkan fakta-fakta bahwa pemanasan berkelanjutan dapat menguntungkan di beberapa daerah.

Para ilmuwan yang mempertanyakan pemanasan global cenderung menunjukkan tiga perbedaan yang masih dipertanyakan antara prediksi model pemanasan global dengan perilaku sebenarnya yang terjadi pada iklim. Pertama, pemanasan cenderung berhenti selama tiga dekade pada pertengahan abad ke-20; bahkan ada masa pendinginan sebelum naik kembali pada tahun 1970-an. Kedua, jumlah total pemanasan selama abad ke-20 hanya separuh dari yang diprediksi oleh model. Ketiga, troposfer, lapisan atmosfer terendah, tidak memanas secepat prediksi model. Akan tetapi, pendukung adanya pemanasan global yakin dapat menjawab dua dari tiga pertanyaan tersebut.

Kurangnya pemanasan pada pertengahan abad disebabkan oleh besarnya polusi udara yang menyebarkan partikulat-partikulat, terutama sulfat, ke atmosfer. Partikulat ini, juga dikenal sebagai aerosol, memantulkan sebagian sinar matahari kembali ke angkasa luar. Pemanasan berkelanjutan akhirnya mengatasi efek ini, sebagian lagi karena adanya kontrol terhadap polusi yang menyebabkan udara menjadi lebih bersih.

Keadaan pemanasan global sejak 1900 yang ternyata tidak seperti yang diprediksi disebabkan penyerapan panas secara besar oleh lautan. Para ilmuan telah lama memprediksi hal ini tetapi tidak memiliki cukup data untuk membuktikannya. Pada tahun 2000, U.S. National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) memberikan hasil analisa baru tentang temperatur air yang diukur oleh para pengamat di seluruh dunia selama 50 tahun terakhir. Hasil pengukuran tersebut memperlihatkan adanya kecenderungan pemanasan: temperatur laut dunia pada tahun 1998 lebih tinggi 0,2 derajat Celsius (0,3 derajat Fahrenheit) daripada temperatur rata-rata 50 tahun terakhir, ada sedikit perubahan tetapi cukup berarti.[21]

Pertanyaan ketiga masih membingungkan. Satelit mendeteksi lebih sedikit pemanasan di troposfer dibandingkan prediksi model. Menurut beberapa kritikus, pembacaan atmosfer tersebut benar, sedangkan pengukuran atmosfer dari permukaan Bumi tidak dapat dipercaya. Pada bulan Januari 2000, sebuah panel yang ditunjuk oleh National Academy of Sciences untuk membahas masalah ini mengakui bahwa pemanasan permukaan Bumi tidak dapat diragukan lagi. Akan tetapi, pengukuran troposfer yang lebih rendah dari prediksi model tidak dapat dijelaskan secara jelas.

[sunting] Pengendalian pemanasan global

Konsumsi total bahan bakar fosil di dunia meningkat sebesar 1 persen per-tahun. Langkah-langkah yang dilakukan atau yang sedang diskusikan saat ini tidak ada yang dapat mencegah pemanasan global di masa depan. Tantangan yang ada saat ini adalah mengatasi efek yang timbul sambil melakukan langkah-langkah untuk mencegah semakin berubahnya iklim di masa depan.

Kerusakan yang parah dapat diatasi dengan berbagai cara. Daerah pantai dapat dilindungi dengan dinding dan penghalang untuk mencegah masuknya air laut. Cara lainnya, pemerintah dapat membantu populasi di pantai untuk pindah ke daerah yang lebih tinggi. Beberapa negara, seperti Amerika Serikat, dapat menyelamatkan tumbuhan dan hewan dengan tetap menjaga koridor (jalur) habitatnya, mengosongkan tanah yang belum dibangun dari selatan ke utara. Spesies-spesies dapat secara perlahan-lahan berpindah sepanjang koridor ini untuk menuju ke habitat yang lebih dingin.

Ada dua pendekatan utama untuk memperlambat semakin bertambahnya gas rumah kaca. Pertama, mencegah karbon dioksida dilepas ke atmosfer dengan menyimpan gas tersebut atau komponen karbon-nya di tempat lain. Cara ini disebut carbon sequestration (menghilangkan karbon). Kedua, mengurangi produksi gas rumah kaca.

[sunting] Menghilangkan karbon

Cara yang paling mudah untuk menghilangkan karbon dioksida di udara adalah dengan memelihara pepohonan dan menanam pohon lebih banyak lagi. Pohon, terutama yang muda dan cepat pertumbuhannya, menyerap karbon dioksida yang sangat banyak, memecahnya melalui fotosintesis, dan menyimpan karbon dalam kayunya. Di seluruh dunia, tingkat perambahan hutan telah mencapai level yang mengkhawatirkan. Di banyak area, tanaman yang tumbuh kembali sedikit sekali karena tanah kehilangan kesuburannya ketika diubah untuk kegunaan yang lain, seperti untuk lahan pertanian atau pembangunan rumah tinggal. Langkah untuk mengatasi hal ini adalah dengan penghutanan kembali yang berperan dalam mengurangi semakin bertambahnya gas rumah kaca.

Gas karbon dioksida juga dapat dihilangkan secara langsung. Caranya dengan menyuntikkan (menginjeksikan) gas tersebut ke sumur-sumur minyak untuk mendorong agar minyak bumi keluar ke permukaan (lihat Enhanced Oil Recovery). Injeksi juga bisa dilakukan untuk mengisolasi gas ini di bawah tanah seperti dalam sumur minyak, lapisan batubara atau aquifer. Hal ini telah dilakukan di salah satu anjungan pengeboran lepas pantai Norwegia, di mana karbon dioksida yang terbawa ke permukaan bersama gas alam ditangkap dan diinjeksikan kembali ke aquifer sehingga tidak dapat kembali ke permukaan.

Salah satu sumber penyumbang karbon dioksida adalah pembakaran bahan bakar fosil. Penggunaan bahan bakar fosil mulai meningkat pesat sejak revolusi industri pada abad ke-18. Pada saat itu, batubara menjadi sumber energi dominan untuk kemudian digantikan oleh minyak bumi pada pertengahan abad ke-19. Pada abad ke-20, energi gas mulai biasa digunakan di dunia sebagai sumber energi. Perubahan tren penggunaan bahan bakar fosil ini sebenarnya secara tidak langsung telah mengurangi jumlah karbon dioksida yang dilepas ke udara, karena gas melepaskan karbon dioksida lebih sedikit bila dibandingkan dengan minyak apalagi bila dibandingkan dengan batubara. Walaupun demikian, penggunaan energi terbaharui dan energi nuklir lebih mengurangi pelepasan karbon dioksida ke udara. Energi nuklir, walaupun kontroversial karena alasan keselamatan dan limbahnya yang berbahaya, bahkan tidak melepas karbon dioksida sama sekali.

[sunting] Persetujuan internasional

!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Protokol Kyoto

Kerjasama internasional diperlukan untuk mensukseskan pengurangan gas-gas rumah kaca. Di tahun 1992, pada Earth Summit di Rio de Janeiro, Brazil, 150 negara berikrar untuk menghadapi masalah gas rumah kaca dan setuju untuk menterjemahkan maksud ini dalam suatu perjanjian yang mengikat. Pada tahun 1997 di Jepang, 160 negara merumuskan persetujuan yang lebih kuat yang dikenal dengan Protokol Kyoto.

Perjanjian ini, yang belum diimplementasikan, menyerukan kepada 38 negara-negara industri yang memegang persentase paling besar dalam melepaskan gas-gas rumah kaca untuk memotong emisi mereka ke tingkat 5 persen di bawah emisi tahun 1990. Pengurangan ini harus dapat dicapai paling lambat tahun 2012. Pada mulanya, Amerika Serikat mengajukan diri untuk melakukan pemotongan yang lebih ambisius, menjanjikan pengurangan emisi hingga 7 persen di bawah tingkat 1990; Uni Eropa, yang menginginkan perjanjian yang lebih keras, berkomitmen 8 persen; dan Jepang 6 persen. Sisa 122 negara lainnya, sebagian besar negara berkembang, tidak diminta untuk berkomitmen dalam pengurangan emisi gas.

Akan tetapi, pada tahun 2001, Presiden Amerika Serikat yang baru terpilih, George W. Bush mengumumkan bahwa perjanjian untuk pengurangan karbon dioksida tersebut menelan biaya yang sangat besar. Ia juga menyangkal dengan menyatakan bahwa negara-negara berkembang tidak dibebani dengan persyaratan pengurangan karbon dioksida ini. Kyoto Protokol tidak berpengaruh apa-apa bila negara-negara industri yang bertanggung jawab menyumbang 55 persen dari emisi gas rumah kaca pada tahun 1990 tidak meratifikasinya. Persyaratan itu berhasil dipenuhi ketika tahun 2004, Presiden Rusia Vladimir Putin meratifikasi perjanjian ini, memberikan jalan untuk berlakunya perjanjian ini mulai 16 Februari 2005.

Banyak orang mengkritik Protokol Kyoto terlalu lemah. Bahkan jika perjanjian ini dilaksanakan segera, ia hanya akan sedikit mengurangi bertambahnya konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer. Suatu tindakan yang keras akan diperlukan nanti, terutama karena negara-negara berkembang yang dikecualikan dari perjanjian ini akan menghasilkan separuh dari emisi gas rumah kaca pada 2035. Penentang protokol ini memiliki posisi yang sangat kuat. Penolakan terhadap perjanjian ini di Amerika Serikat terutama dikemukakan oleh industri minyak, industri batubara dan perusahaan-perusahaan lainnya yang produksinya tergantung pada bahan bakar fosil. Para penentang ini mengklaim bahwa biaya ekonomi yang diperlukan untuk melaksanakan Protokol Kyoto dapat menjapai 300 milyar dollar AS, terutama disebabkan oleh biaya energi. Sebaliknya pendukung Protokol Kyoto percaya bahwa biaya yang diperlukan hanya sebesar 88 milyar dollar AS dan dapat lebih kurang lagi serta dikembalikan dalam bentuk penghematan uang setelah mengubah ke peralatan, kendaraan, dan proses industri yang lebih effisien.

Pada suatu negara dengan kebijakan lingkungan yang ketat, ekonominya dapat terus tumbuh walaupun berbagai macam polusi telah dikurangi. Akan tetapi membatasi emisi karbon dioksida terbukti sulit dilakukan. Sebagai contoh, Belanda, negara industrialis besar yang juga pelopor lingkungan, telah berhasil mengatasi berbagai macam polusi tetapi gagal untuk memenuhi targetnya dalam mengurangi produksi karbon dioksida.

Setelah tahun 1997, para perwakilan dari penandatangan Protokol Kyoto bertemu secara reguler untuk menegoisasikan isu-isu yang belum terselesaikan seperti peraturan, metode dan pinalti yang wajib diterapkan pada setiap negara untuk memperlambat emisi gas rumah kaca. Para negoisator merancang sistem di mana suatu negara yang memiliki program pembersihan yang sukses dapat mengambil keuntungan dengan menjual hak polusi yang tidak digunakan ke negara lain. Sistem ini disebut perdagangan karbon. Sebagai contoh, negara yang sulit meningkatkan lagi hasilnya, seperti Belanda, dapat membeli kredit polusi di pasar, yang dapat diperoleh dengan biaya yang lebih rendah. Rusia, merupakan negara yang memperoleh keuntungan bila sistem ini diterapkan. Pada tahun 1990, ekonomi Rusia sangat payah dan emisi gas rumah kacanya sangat tinggi. Karena kemudian Rusia berhasil memotong emisinya lebih dari 5 persen di bawah tingkat 1990, ia berada dalam posisi untuk menjual kredit emisi ke negara-negara industri lainnya, terutama mereka yang ada di Uni Eropa.